Manuper politik niat dibalik panglima
https://forwardsnews.blogspot.com/2017/10/manuper-politik-niat-dibalik-panglima.html
Presiden Jokowi mengingatkan bahwa politik tentara adalah politik negara dan loyalitas tentara adalah untuk bangsa dan negara. Politik dan loyalitas berarti kesetiaan berjuang untuk rakyat, setia
pada pemerintah yang sah. TNI adalah milik nasional yang ada di semua
golongan, yang tidak terkotak-kotak," kata Jokowi pada pidato upacara
HUT ke-72 TNI di Cilegon, Banten, Kamis 5 Oktober 2017.
Pada kesempatan ini, Jokowi juga mengingatkan TNI tidak boleh masuk ke politik praktis. Jokowi menyampaikannya di depan ribuan prajurit TNI, tiga kepala staf
TNI yakni Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Mulyono,
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) Laksamana TNI Ade Supandi, dan
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, serta
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.
Pada kesempatan yang sama, dalam pidatonya, Gatot Nurmantyo juga
bicara soal politik tentara. Dia menegaskan, politik TNI adalah politik
negara. Sampai kapan pun TNI akan setia pada NKRI. Bagi TNI, lanjut dia, kecintaan pada NKRI yang berdasarkan UUD 1945
dan Pancasila adalah sendi utama, yang melekat erat pada setiap jiwa dan
wajah prajurit.
Pada saat yang sama saya menegaskan pula bahwa politik TNI adalah
politik negara. Politik yang diabdikan bagi tegaknya kesatuan Indonesia,
yang di dalamnya terangkum ketaatan hukum, untuk kepentingan rakyat di
atas kepentingan manapun," kata Gatot.
Dia juga menegaskan, TNI tetap setia dan taat pada pimpinan tertinggi
negara, yakni Presiden. Tidak ada keraguan bagi kesetiaan prajurit pada
pimpinan tertinggi. "Serta taat kepada atasan yaitu Presiden RI yang dipilih secara sah
secara konstitusional. Sekali lagi jangan ragukan kesetiaan TNI," tandas
Gatot.
Kecemasan soal militer yang berpolitik menyeruak dalam beberapa hari
terakhir. Pemicu utama pernyataan Gatot terkait adanya institusi
tertentu yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal dengan
mencatut nama Presiden Jokowi. Pernyataan itu disampaikan dalam
silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta,
Jumat 22 September 2017.
Acara tersebut turut dihadiri Menko Polhukam Wiranto, mantan Wakil
Presiden RI Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Laksamana TNI (Purn) Widodo
AS, dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum
Partai Gerindra, serta sejumlah petinggi TNI lain.
Pernyataan Gatot tersebut dinilai tidak sesuai dengan posisinya
sebagai bagian dari pemerintahan. Karena itu, ada yang menyebut Gatot
tengah melakukan manuver politik.
Dalam beberapa survei, nama Gatot sudah muncul dalam bursa Pemilihan
Presiden 2019. Survei CSIS periode 23-30 Agustus 2017 menemukan
elektabilitas Gatot 1,8 persen. Pada survei yang sama, elektabilitas
Jokowi 50,8%.
Sementara, dalam survei SMRC yang digelar September 2017, elektabilitas Gatot 0,3%. Perihal Jokowi, bertengger di 38,9%
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menengarai ada niat lain di balik pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Pernyatan tersebut juga bisa dilihat dari kaca mata politik. "Ini dimaknai sebagai manuver politik. Karena kita yakin, Panglima paham informasi intel itu bersifat rahasia dan tidak sepantasnya
disampaikan pada publik," jelas pria yang juga pengamat militer itu.
Namun, Al Araf enggan berspekulasi lebih jauh soal niat di balik Panglima Gatot mengungkapkan hal tersebut. "Tapi untuk tujuan apa? Ya
kita tidak tahu," tutup dia. Politikus sipil pun mengingatkan bahwa anggota TNI aktif dilarang
berpolitik praktis. "Kalau sudah pensiun boleh. Pak SBY sudah pensiun,
boleh. Pak Prabowo sudah pensiun berpolitik, boleh. Polisi sudah pensiun
boleh, ada Pak Sidarto (Danusubroto)," papar Maruarar Sirait, Kamis 5
Oktober 2017. Maruarar berharap, TNI dan Polri bisa menjaga semua amanah yang diberikan negara dan undang-undang kepadanya.
Demokrasi di Indonesia tidak datang tiba-tiba, melalui perjuangan
reformasi yang panjang, dengan darah dan air mata. Kita tidak boleh
kembali ke zaman seperti itu. Dari berbagai survei, jelas demokrasi
pilihan yang paling dinikmati rakyat daripada rezim otoriter," tandas
kader PDIP tersebut.
Jika menilik ke belakang, ada sejumlah pernyataan Gatot yang dinilai
kontroversial dan beraroma politis. Misalnya, langkah dia memerintahkan
jajaran TNI untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI.
Gatot menilai pemutaran film ini berguna agar kekejaman kaum komunis
bisa diketahui masyarakat luas. Dia tidak sependapat jika pemutaran film
tersebut dianggap untuk mendiskreditkan pihak tertentu.
Lalu, ceramahnya di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, Minggu 4 Juni 2017, juga menuai polemik. Sebab, Gatot
mengkritik demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Tanah Air, kata dia, haruslah sesuai dengan ajaran Islam
yang tecermin dalam sila keempat Pancasila. Namun, "Demokrasi kita
tidak sesuai lagi dengan Pancasila, (karena) tidak melalui musyawarah
dan mufakat lagi," kata Gatot.
Demikian pula pada Mei 2017. Saat itu, dia membacakan puisi karya
konsultan politik Denny JA, dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar. Puisi tersebut berjudul "Tapi Bukan Kami Punya". Bait-bait puisi itu
berisi potret kehidupan rakyat Indonesia kini yang, dalam anggapan
Denny JA, timpang.
Melalui puisi ini, Gatot menyatakan ingin mengingatkan seluruh pihak
agar waspada. Jangan sampai orang Indonesia terpinggirkan, seperti sosok
Jaka, tokoh yang diceritakan dalam puisi tersebut. "Kalau tidak waspada, anakmu juga bisa seperti Jaka. Habis
terpinggirkan, bukan orang Indonesia lagi, kita terpinggirkan. Puisi itu
mewujudkan apabila kita tidak waspada, kita sama seperti Jaka nanti,
kalau kita tak waspada, anakmu bisa seperti itu, anak saya juga," tandas
Gatot Nurmantyo di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 24 Mei 2017.
Baca juga :