Licin atau kuat julukan yang pantas untuk Setya Novanto
https://forwardsnews.blogspot.com/2017/09/licin-atau-kuat-julukan-yang-pantas.html
Setya Novanto layak kita sebut Luar biasa , kenapa tidak ? dari beberapa kasus yang pernah menjerat dirinya dia selalu lolos. Padahal kasus yang melibatkan nama besar Setya Novanto selalu ada dalam kasus besar. Mandulkah keadilan dinegeri ini atau kenapa ?
Setya Novanto Si licin dan The untouchable (tak tersentuh) dua julukan itu
sering disematkan kepada Setya
Novanto saat berhadapan dengan kasus hukum.
Berkali-kali dia lolos dari 'lubang jarum' bahkan saat sudah menjadi tersangka.
Dalam putusan praperadilan Jumat (29/9) kemarin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim tunggal Cepi Iskandar membatalkan status tersangka ketua umum Partai Golkar itu dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Cepi pun menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah.
Hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya Novanto yang dikeluarkan terhadap termohon tidak sah," kata Cepi saat membacakan putusan.
Hakim juga menyatakan menolak seluruh eksepsi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan ini juga, lanjut dia, sekaligus sebagai dasar hukum penyidikan terhadap Ketua Umum Golkar itu harus dihentikan. "Hakim memerintahkan menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto dan menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil," kata Cepi sambil mengetuk palu tindak sidang usai.
Kemenangan ini menjadi catatan kesekian dari Setnov yang lolos dari berbagai kasus hukum. Berikut beberapa kasus yang pernah membelit ketua DPR itu:
Dalam putusan praperadilan Jumat (29/9) kemarin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim tunggal Cepi Iskandar membatalkan status tersangka ketua umum Partai Golkar itu dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Cepi pun menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah.
Hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya Novanto yang dikeluarkan terhadap termohon tidak sah," kata Cepi saat membacakan putusan.
Hakim juga menyatakan menolak seluruh eksepsi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan ini juga, lanjut dia, sekaligus sebagai dasar hukum penyidikan terhadap Ketua Umum Golkar itu harus dihentikan. "Hakim memerintahkan menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto dan menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil," kata Cepi sambil mengetuk palu tindak sidang usai.
Kemenangan ini menjadi catatan kesekian dari Setnov yang lolos dari berbagai kasus hukum. Berikut beberapa kasus yang pernah membelit ketua DPR itu:
KASUS BANK BALI
Kasus pertama yang memunculkan nama Novanto adalah skandal
Bank Bali senilai Rp 904 miliar pada tahun 1999. Kasus ini bermula ketika Rudy
Ramli, pemilik Bank Bali, kesulitan menagih piutang senilai Rp 3 triliun kepada
Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara.
Rudy kemudian menyewa PT Era Giat Prima (PT EGP) yang direktur utamanya dijabat Novanto. Saat itu Setya Novanto juga menjabat bendahara Partai Golkar. Proses penagihan cessie belakangan menjadi tindak pidana korupsi karena fee yang diperoleh PT EGP hampir separuh dari piutang yang ditagih. Persoalan menjadi rumit karena PT EGP ternyata menggunakan kekuatan politik guna memperlancar penagihan.
Belakangan, Setnov dan sejumlah politisi partai beringin yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, juga Wakil Direktur Utama Bank Bali, bersekongkol agar BI dan BPPN sepakat mengucurkan dana kepada Bank Bali sebesar Rp 905 miliar. Namun, Bank Bali ternyata hanya menerima Rp 359 miliar. Sisanya, Rp 546 miliar atau sekitar 60 persen, justru masuk ke rekening PT EGP.
Sebanyak sepuluh orang termasuk Setnov ditetapkan menjadi tersangka, tetapi hanya tiga orang yang dijatuhi hukuman penjara. Mereka adalah Joko Tjandra (Direktur PT EGP), Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), dan Pande N Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN). Setya Novanto lolos dari jerat hukum setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas pada 18 Juni 2003.
KASUS AKIL MOCHTARPAPA MINTA SAHAMSebuah rekaman percakapan dengan pengusaha minyak Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Dalam rekaman, keduanya meminta saham kepada Freeport.
Kasus ini awalnya ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berdasarkan aduan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Namun saat MKD akan menyampaikan keputusan, Novanto langsung mengambil langkah cepat mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR. Dengan pengunduran diri itu, MKD langsung menutup sidang dan menganggap kasus selesai tanpa ada putusan resmi yang dikeluarkan lembaga etik DPR ini. Padahal, sebanyak 17 anggota MKD menyatakan Novanto melanggar kode etik dan harus dikenakan sanksi berat.
Kasus ini sempat disidik oleh Kejaksaan Agung dengan dugaan pidana permufakatan jahat. Novanto juga sudah sempat diperiksa oleh Kejagung. Akan tetapi, kasus itu kini mandek setelah Kejagung tidak berhasil mendapatkan keterangan dari Riza Chalid yang menghilang.
Pada kasus Akil Mochtar, Novanto pernah diperiksa sebagai
saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa
pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Kasus ini
menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar yang juga mantan politikus Partai Golkar.
Nama Novanto sempat disebut dalam rekaman pembicaraan antara Akil Mochtar dan
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang
Pemenangan Pemilu Jawa Zainuddin Amali.
Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil kepada Zainuddin. Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini, Novanto membantah adanya permintaan uang dari Akil. Dia mengaku telah melarang Zainuddin mengurus masalah Pilkada Jatim. Dia juga mengakui bahwa hubungan Akil dengan Golkar tidak baik karena banyak perkara sengketa pilkada di MK yang tidak dimenangi Golkar.
KASUS PON XV11
pernah diperiksa terkait perkara suap pembangunan lanjutan
tempat Pekan Olahraga Nasional XVII. Ruang kerja Setya Novanto juga digeledah
oleh Penyidik KPK pada 19 Maret 2013. Tersangka dalam kasus itu adalah mantan
Gubernur Riau Rusli Zainal.
Terkait kasus ini, Setya Novanto membantah keterlibatannya. Dia juga membantah pernah menerima proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON Riau atau memerintahkan pihak Dinas Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora Riau) untuk menyerahkan uang suap agar anggaran turun.
Terkait kasus ini, Setya Novanto membantah keterlibatannya. Dia juga membantah pernah menerima proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON Riau atau memerintahkan pihak Dinas Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora Riau) untuk menyerahkan uang suap agar anggaran turun.
KASUS eKTP
Dalam kasus ini, Setnov telah menjadi tersangka oleh KPK.
Nama dia awalnya pernah disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat
Muhammad Nazaruddin sebagai salah satu pengendali proyek dalam kasus e-KTP.
Setya ikut terseret dalam kasus pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (e-KTP) untuk tahun anggaran 2011-2012, salah satu proyek Kementerian Dalam Negeri.
Dalam kasus ini, Nazaruddin menyebutkan ada aliran dana yang mengalir ke sejumlah anggota DPR salah satunya Setya Novanto. Setya diperkirakan menerima Rp 300 miliar dari proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Novanto membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Novanto juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.KASUS EKTP
Setya ikut terseret dalam kasus pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (e-KTP) untuk tahun anggaran 2011-2012, salah satu proyek Kementerian Dalam Negeri.
Dalam kasus ini, Nazaruddin menyebutkan ada aliran dana yang mengalir ke sejumlah anggota DPR salah satunya Setya Novanto. Setya diperkirakan menerima Rp 300 miliar dari proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Novanto membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Novanto juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.KASUS EKTP